Sunday 22 September 2013

PERKEMBANGAN MORAL (PBPD)



PERKEMBANGAN MORAL
A.  HAKIKAT PERKEMBANGAN MORAL
Secara estimologi kata moral berasal dari kata Latin mos yang berarti tata-cara,  adat istiadat atau kebiasaan, sedangkan jamaknya adalah mores. Dalam arti adat istiadat atau kebijaksanaan, kata moral mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani ethos, yang menurunkan kata etika. Dalam bahasa Arab kata moral berarti budi pekerti adalah sama dengan akhlak, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata moral dikenal dengan arti kesusilaan.
Jadi, moral merupakan ajaran yang berhubungan dengan baik dan buruk, perbuatan yang boleh dilakukan dan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Moral merupakan alat kontrol dalam perbuat dan bertingkah laku dalam berbagai situasi. Misalnya dalam pengamalan nilai hidup maka perilaku seseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain. Nilai-nilai hidup yang berlaku dalam masyarakat akan menyangkut persoalan baik dan buruk.
Perkembangan moral seseorang akan ditentukan oleh lingkungan dimana ia berada, watak atau kemampuan untuk bertindak. Perkembangan moral erat kaitannya dengan perkembangan kognitif. atau erat kaitannya dengan cara berpikirnya. Perkembangan moral berlangsung melalui proses latihan dan peniruan. Perkembangan moral anak melalui peniruan tingkah laku orang yang dilihat disekitarnya dan proses peniruan ini dengan cara mengamati tingkah laku orang dewasa atau model yang berada disekitarnya. Keberhasilan perkembangan moral berarti dimiliki emosi dan perilaku yang mencerminkan kepedulian akan orang lain: saling berbagi, bantu-membantu, saling menumbuhkan, saling mengasihi, tenggang rasa, dan kesediaan mematuhi aturan-aturan masyarakat agar menjadi manusia bermoral. (http://silvrz.blogspot.com/2011/11/peran-orangtuan-mengembangkan-moral.html)
B.  KEKHASAN PERKEMBANGAN MORAL ANAK SD
Moral artinya perilaku yang ditampilkan seseorang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Hurlock (1990) menjelaskan, “ moral adalah suatu tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan keadaan suatu lingkungan”.
Dengan memperhatikan perkembangan moral anak usia sekolah dasar, mula-mula anak menganggap keadilan dan aturan-aturan yang ada tidak pernah berubah, tetapi akhirnya semakin bertambah usia anak, kelas semakin tinggi anak mulai menyadari bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum yang ada bisa dipertimbangkan. Menurut Piaget (dalam Wahab, 1999: 182) menyatakan, “mereka menganggap bahwa social/kelompok yang dapat diubah melalui konsensus.
Perkembangan moral menurut Piaget terjadi dalam dua tahapan yang jelas. Tahap pertama disebut “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan”  dan tahap kedua  disebut “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerjasama atau hubungan timbal balik(http://abyfarhan7.blogspot.com/2012/01/karakteristik-perkembangan-moral.html). Pada tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan anak mengikuti peraturan yang diberikan oleh mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya.  Pada tahap kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebih. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral.

C.  TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN MORAL
Menurut Kohlberg 1976 (dalam Prayitno, 1991: 132) mengemukakan , perkembangan moral dapat dibagimenjadi tiga tingkat yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan pasca konvensional.

1.      Tingkat Prakonvensional
      Tingkat awal perkembangan moral  anak disebut tingkat prakonvensional. Pada tingkat awal ini nilai baik dan buruk ditentukan oleh orang dewasa, sedangkan anak belum memiliki nilai-nilai moral dalam dirinya. Pada tahap ini anak tunduk dan patuh pada tuntutan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik maka itulah yang diikuti dan dipatuhi anak, begitupun sebaliknya dikatakan tidak baik dan dilarang akan dihindari anak. Anak melakukan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik dengan harapan mengharapkan pujian atau hadiah dari orang dewasa dilingkungannya.
Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a.       Tahap orientasi hukum dan kepatuhan
      Pada tahap ini nilai baik buruk tindakan berorientasi pada akibat fisik. Tahap ini individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.

b.      Tahap orientasi relativis instrumental
Pada tahap ini ukuran benar salahnya suatu tindakan adalah bila dapat memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan sendiri maupun kebutuhan orang lain. Tahap ini menempati posisi pada sebuah prilaku yang menguntungkan untuk dirinya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap ini kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri.
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
2.      Tingkat Konvensional
Pada tahap ini hal-hal yang dianggap berharga adalah dapat memenuhi harapan keluarga, kelompok bahkan harapan bangsa. Tujuannya ingin bersikap loyal, sikap ingin menjaga dan menunjang ketertiban.
Tingkat ini terdiri dari dua tahap:
a.       Orientasi masuk kelompok anak baik dan anak manis
            Pada tahap ini ukuran baik dan buruknya suatu tingkah laku berorientasi pada persetujuan orang lain dilingkungannya. Tahapan seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, dan rasa terimakasih.
b.      Orientasi hukum dan ketertiban
      Tingkah laku yang benar berorientasi pada aturan-aturan yang sudah pasti. Tahapan mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap ini lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap sebelumnya; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
            Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
3.      Tingkat pascakonvensional
Pada tingkat pascakovensional ukuran nilai baik dan buruk didasarkan atas prinsip-prinsip yang sahih dan dapat dilaksanakan. Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, yang mana tahapannya adalah:
1.      Tahap pertama, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar. Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
2.      Tahap kedua, tahap penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten.



DAFTAR PUSTAKA

Darnis arief dan khairanis. 2000. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Padang: DIP Universitas Negeri Padang.


No comments:

Post a Comment