Sunday 22 September 2013

Cara Mengatasi Anak Dengan Gangguan Penglihatan (Tunanetra) Agar Berhasil dalam Pendidikan Inklusi



Cara Mengatasi Anak Dengan Gangguan Penglihatan (Tunanetra)
Agar Berhasil dalam Pendidikan Inklusi

  1. Defenisi Ketunanetraan
Kebanyakan definisi ketunanetraan didasarkan pada akibat ketunanetraan itu sendiri pada penyandangnya. Ada dua defenisi ketunanetraan, yaitu defenisi medis dan defenisi Pendidikan.
1)      Definisi Medis
Definisi medis ini didasarkan pada ketajaman penglihatan dan lantang pandangan. Seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan (visus) 20/200 atau kurang tergolong buta. Sedangkanyang memiliki visus antara 20/70 tergolong low vision. Meskipunseseorang memiliki ketajaman penglihatan normal tetapi lantangpandangannya kurang dari 20 derajat juga tergolong buta. Karena difinisi medis ini semata-mata didasarkan pada ketajaman penglihatan sering ditemukan seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan sama tetapi kemampuan penggunaan penglihatannya berbeda. Di samping itu berdasarkan data statistik bahwa seseorang yang digolongkan buta keadaan penglihatannya sangat beragam .
2)      Definisi Pendidikan
Penggolongan ketunanetraan berdasarkan media apa yang digunakan untuk membaca dan menulis merupakan dasar dari definisi pendidikan. Seseorang yang belajar dengan menggunakan indera perabaan dan pendengaran digolongkan sebagai buta. Sedangkan seseorang yang masih mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca meskipun dengan tulisan yang diperbesar (diadaptasi) mereka digolongkan sebagai low vision. Seseorang yang masih mampu menggunakan penglihatannya tetapi mengalami gangguan pada situasi tertentu tergolong sebagai limited vision.

  1. Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai factor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) ataupun factor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan : faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat dan sebagainnya.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya : kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system sayafnya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, dan peradangan mata karena penyakit, bakteri, atau virus.
  1. Dampak Ketunanetraan
Penglihatan merupakan salah satu saluran informasi yang sangat penting bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari penglihatan. Di bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil, ukuran mobil, bentuk mobel, dan  lain-lain termasuk detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh dengan indera selain penglihatan. Kehilangan indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual. Sebagai akibatnya menyandang kelainan penglihatan akan kekuarangan atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya untuk meningkatkan indera lain yang masih berfungsi. Seberapa jauh dampak kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang tergantung pada banyak faktor misalnya kapan (sebelum atau sesudah lahir, masa balita atau sesudah lima tahun)  terjadinya kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan lain-lain. Seseorang yang kehilangan penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima tahun pengalaman visualnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan yang kehilangan penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa biasanya masih memiliki pengalaman visual yang lebih baik tetapi memiliki dampak yang lebih buruk terhadap penerimaan diri.


1)      Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan fisik dan sosisalnya, struktur fisiologisnya, keinginan dan tujuannya, dan pengalaman-pengalaman masa lalunya. Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi orang awas mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.
2)      Dampak terhadap Keterampilaan Sosial
Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen dari sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian. Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak cacat. Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses “dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.
3)      Dampak terhadap Bahasa
Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra. Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain. Secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kakat-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaannya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.
4)      Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk berhasil dalam penyesuaian social individu tunanetra adalah kemampuan mobilitas yaitu keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan. Untuk membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan anjing penuntun (guide dog) juga populer. Dan penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan. Agar anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya dala bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera –indera yang masih berfungsi.

  1. Perkembangan Kognitif, Motorik, emosi, sosial Tunanetra
(a)   Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari ketunanertaan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanerta cendrung terhambat dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitf tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan (IQ), tetapi juga dengan kemampuan indra penglihatannya. Melalui indera penglihatan seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak saja pada bentuknya (pada objek berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam (pada objek berdimensi tiga), warna, dan dinamikanya. Melalui indra inilah sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus menerus seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal.
(b)   Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cendrung lambat dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karna dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Pada anak tunanerta mungkin fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karna fungsi psikisnya (seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
(c)    Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterhambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkannya mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya. Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi , yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalami deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan atau perkembangannya ditolah kehadirannya oleh linkungan keluarga atau masyarakat. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lain seperti kelambatan dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan social. Selain itu, anak yang mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri,serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.
(d)   Perkembangan Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan social. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan rendah diri, malu, keterbatasan anak untuk dapat belajar social melalui proses identifikasi dan imitasi, serta sikap-sikap masyarakat yang sering kali tidak menguntungkan : penolakan, penghinaan dan sikap tak acuh.  Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan social anak tunanetra itu sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Bila perlakuan dan penerimaannya baik, maka perkembangan sosial anak tunanetra tersebut akan baik dan begitu juga sebaliknya.

  1. Prinsip Pengajaran
Dalam mengajar anak dengan kelainan penglihatan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian secara khusus yaitu :
1)       Lingkungan Fisik
Dahulu anak tunanetra kebanyakan belajar di sekolah khusus (SLB) namun sekarang mulai banyak tunanetra belajar di sekolah-sekolah reguler bersama-sama dengan temannya yang awas (normal). Keadaan semacam ini penyediaan atau penyiapan lingkungan fisik bagi mereka perlu mendapat perhatian di sekolah reguler. Lingkungan fisik yang dimaksud dapat berupa kondisi pencahayaan (bagi yang low vision), jalan dan gedung yang mudah diakses tunanetra, serta perlengkapan lain yang mendukung keberhasilan belajar para tunanetra.

2)      Prosedur Pengajaran
Metode pengajaran kepada tunanetra sebaiknya mencakup tiga prinsip yang meliputi: pengalaman kongkret, pengalaman yang utuh, dan belajar dengan melakukan. Akibat ketunanetraan banyak hal yang tidak dapat diterima secara kongkret seperti misalnya benda atau obyek yang terlalu besar atau tidak dapat diraba misalnya bulan, mata hari, gunung dan lain-lain. Oleh karena itu pengajaran pada tunanetra harus berupaya memberikan pengalaman yang kongkret sehingga dapat mengurangi terjadinya verbalisme (pengetahuan tanpa pengalaman nyata). Karena keterbatasan jangkauan indera perabaan sering kali menyebabkan pengenalan terhadap suatu obyek tidak utuh (bagianbagian). Oleh karena itu pemahaman secara utuh tentang suatu obyek menjadi prioritas dalam pengajaran pada tunanetra. Prinsip learning by doing dalam pengajaran dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan pengalaman langsung tunanetra terhadap suatu obyek atau peristiwa. Hal ini sering tertjadi karena akibat over protection sehingga tunanetra kehilangan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan atau pemahaman melalui kegiatan langsung.

3)      Isi dan Materi Pengajaran
Pada dasarnya isi dan materi pengajaran pada tunanetra tidak berbeda dengan materi pada anak awas. Meskipun demikian ada beberapa materi khusus yang mereka perlukan sesuai dengan kebutuhannya. Materi pengajaran yang khusus diperlukan oleh tunanetra adalah membaca dan menulis braille, keterampilan orientasi dan mobilitas, keterampilan penggunaan indera selain penglihatan, aktivitas fisik dan lain-lain.

            Berdasarkan kondisi anak dengan gangguan penglihatan pada umumnya tidak terlalu mengalami kesulitan untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Demikian juga dalam seting pendidikan inklusi. Namun perlu dipertimbangkan bahwa anak yang akan diberi layanan dalam setting pendidikan inklusi di sekolah reguler. Terlebih dahulu sudah mempunyai kemampuan dan keterampilan Braille dan orientasi mobilitas. Dalam hal ini sumber (sekolah khusus) harus difungsikan sebagai tempat latihan keterampilan braille dan orientasi mobilitas. Oleh karena itu, apabila anak yang mengalami gangguan penglihatan yang masih belum memiliki keterampilan tersebut, dalam mengalami pendidikan akan mengalami kendala. Kendala tersebut akan dialami baik oleh guru kelas maupun anak itu sendiri dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah reguler.

Daftar Pustaka
Tarmansyah. 2009. Perspektif Pendidikan Inklusif. Padang: UNP PRESS.
Tarmansyah. 2009. Pendidikan Inklusi. Padang: UNP PRESS.
Sutjihati, Somantri, 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
http://www.google.com/

No comments:

Post a Comment