Sunday, 22 September 2013

Pendekatan Penerapan Pendidikan Budi Pekerti



Pendekatan Penerapan Pendidikan Budi Pekerti
Sekolah sangatlah memberi andil dalam merencanakan pendidikan budi pekerti. Sungguh terpuji apabila sekolah tersebut membudayakan kegiatan moral dilingkup sekolah dalam arti segenap yang ada dalam lingkungan sekolah haruslah berwatak yang baik sehingga tiada kegiatan yang menjelek image sekolah sebagai lembaga pendidikan. Banyak kegiatan yang mulai melanggar kegiatan budi pekerti contoh kecil masih adanya guru dijenjang tertentu mencontohkan siswanya suatu perbuatan yang tidak terpuji misalnya marah kepada murid. Kenapa penulis bilang marah itu merupakan suatu sifat buruk Karena secara tidak langsung guru tersebut sudah mengajarkan kepada muridnya bagaimana cara marah. Mungkin sebagian besar guru mengerti bahwa salah satu sifat seorang anak merupakan suka meniru-niru orang lebih dewasa. Itu adalah contoh kecil dari perbuatan buruk yang bisa ditiru oleh anak didik.
Pengaruh Seorang Guru Dalam Mengajarkan Budi Pekerti ke anak-anak sangat besar karena gurulah yang mengatur jalannya pendidikan sebuah kelas. Dia yang memplanning sebuah pendidikan dikelas sesuai dengan kurikulum. Bahkan dia yang mengevaluasi berhasil tidaknya sebuah kelas.
v  Guru sebagai tauladan
v  Guru sebagai motivator
v  Guru sebagai innovator
v  Guru sebagai evaluator
Salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap moral dan watak murid yang berbudi luhur. Dahulu para murid diberikan pelajaran Budi Pekerti untuk mencapai tujuan tersebut. Namun sekarang pelajaran itu telah ditiadakan karena pelajaran tersebut mungkin tidak banyak merubah kepribadian murid menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral. Indonesia memiliki Pancasila dan nilai-nilai budaya yang luhur dan menjunjung tinggi kerukunan dan tenggang rasa. Akan tetapi, di pihak lain Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, dan tingkat kerusuhan yang juga tinggi. Bangsa lain memandang Indonesia menjadi negara yang tidak lagi aman untuk dikunjungi sehingga Indonesia pernah menjadi negara yang dilarang untuk dikunjungi oleh salah satu negara besar di dunia. Negara tersebut mengeluarkan travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia.
Salah satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan. Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis dan korup. Oleh karena itu, seyogyanya pendidikan Budi Pekerti kembali digalakkan. Namun, agar tujuan dan maksud pendidikan Budi Pekerti itu bisa terwujud sesuai harapan, maka sangat diperlukan suatu pendekatan ataupun strategi dalam melaksanakan pendidikan Budi Pekerti. Secara substansial, pendidikan budi pekerti berorientasi pada pentingnya siswa memiliki sikap dan perilaku positif terhadap diri dan orang lain. Jadi, pendekatan yang dipilih seyogyanya merupakan pendekatan dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa sehingga dimungkinkan guru dapat menerapkan pendekatan secara kolaboratif. Penerapan pendidikan Budi Pekerti perlu dilakukan secara holistik dan didesain dalam proses pembelajaran yang menyenangkan. Jadi, seorang calon pendidik harus memahami benar cara melaksanakan pendidikan Budi Pekerti sehingga sesuai dengan uraian di atas. Dengan begitu, harapan, maksud dan tujuan dari pendidikan Budi Pekerti tersebut bisa tercapai.
Beberapa pendekatan penerapan nilai, yaitunya sebagai berikut:
1)      Pendekatan penanaman nilai (Iculcation Approach)
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif (pemberian ajaran secara mendalam tanpa kritik mengenai suatu paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu saja), tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang.
Pada dasarnya, pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang digunakan antara lain keteladanan, penguatan, simulasi, dan bermain peran.
Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka
sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai
agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi
penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan
merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
2)      Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al.1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
a.       Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
b.      Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
c.       Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka. Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal.
Jadi, pada dasarnya, pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Cara yang dapat digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstrak.
3)      Pendekatan Analisis Nilai (Value Analysis Approach)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu dan dapat menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri.
Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut.
a.       Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait yang artinya mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait,
b.      Mengumpulkan fakta yang berhubungan yang artinya mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan,
c.       Menguji kebenaran fakta yang berkaitan yang artinya mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan,
d.      Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan yang artinya mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan,
e.       Merumuskan keputusan moral sementara yang artinya mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara,
f.       Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang artinya mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
Cara yang dapat digunakan antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat, dan penelitian.
4)      Pendekatan Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Jadi, pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, bertujuan membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang digunakan antara lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok.
5)      Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Tujuan pendekatan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti pada pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, dan mengembangkan kemampuan dalam melakukan kegiatan sosial serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial. Cara yang digunakan selain cara-cara pendekatan analisis dan klarifikasi nilai, adalah metode proyek/kegiatan di sekolah, hubungan antar pribadi, praktik hidup bermasyarakat dan berorganisasi.

Daftar Pustaka
Nurul Zuriah. 2007 . Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan . Jakarta : Bumi Aksara

No comments:

Post a Comment