PERKEMBANGAN MORAL
A. HAKIKAT PERKEMBANGAN MORAL
Secara estimologi kata moral berasal
dari kata Latin mos yang berarti
tata-cara, adat istiadat atau kebiasaan,
sedangkan jamaknya adalah mores.
Dalam arti adat istiadat atau kebijaksanaan, kata moral mempunyai arti yang sama dengan bahasa Yunani ethos, yang menurunkan kata etika. Dalam bahasa Arab kata moral berarti budi pekerti adalah sama
dengan akhlak, sedangkan dalam bahasa
Indonesia, kata moral dikenal dengan
arti kesusilaan.
Jadi, moral
merupakan ajaran yang berhubungan dengan baik dan buruk, perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Moral merupakan alat
kontrol dalam perbuat dan bertingkah laku dalam berbagai situasi. Misalnya
dalam pengamalan nilai hidup maka perilaku seseorang akan selalu memperhatikan
perasaan orang lain. Nilai-nilai hidup yang berlaku dalam masyarakat akan menyangkut
persoalan baik dan buruk.
Perkembangan
moral seseorang akan ditentukan oleh lingkungan dimana ia berada, watak atau
kemampuan untuk bertindak. Perkembangan moral erat kaitannya
dengan perkembangan kognitif. atau erat kaitannya dengan cara berpikirnya.
Perkembangan moral berlangsung melalui proses latihan dan peniruan.
Perkembangan moral anak melalui peniruan tingkah laku orang yang dilihat
disekitarnya dan proses peniruan ini dengan cara mengamati tingkah laku orang
dewasa atau model yang berada disekitarnya. Keberhasilan perkembangan moral berarti dimiliki emosi dan
perilaku yang mencerminkan kepedulian akan orang lain: saling berbagi,
bantu-membantu, saling menumbuhkan, saling mengasihi, tenggang rasa, dan
kesediaan mematuhi aturan-aturan masyarakat agar menjadi manusia bermoral.
(http://silvrz.blogspot.com/2011/11/peran-orangtuan-mengembangkan-moral.html)
B. KEKHASAN PERKEMBANGAN MORAL ANAK SD
Moral
artinya perilaku yang ditampilkan seseorang sesuai dengan aturan-aturan yang
berlaku. Hurlock (1990) menjelaskan, “ moral adalah suatu tingkah laku yang
sesuai dengan nilai-nilai dan keadaan suatu lingkungan”.
Dengan
memperhatikan perkembangan moral anak usia sekolah dasar, mula-mula anak
menganggap keadilan dan aturan-aturan yang ada tidak pernah berubah, tetapi akhirnya
semakin bertambah usia anak, kelas semakin tinggi anak mulai menyadari bahwa
aturan-aturan dan hukum-hukum yang ada bisa dipertimbangkan. Menurut Piaget
(dalam Wahab, 1999: 182) menyatakan, “mereka menganggap bahwa social/kelompok
yang dapat diubah melalui konsensus.
Perkembangan
moral menurut Piaget terjadi dalam dua tahapan yang jelas. Tahap pertama
disebut “tahap realisme moral” atau “moralitas oleh pembatasan” dan tahap
kedua disebut “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerjasama
atau hubungan timbal balik(http://abyfarhan7.blogspot.com/2012/01/karakteristik-perkembangan-moral.html).
Pada tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap
peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua
orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan anak mengikuti peraturan
yang diberikan oleh mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Pada tahap
kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini
biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun
atau lebih. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan
suatu pelanggaran moral.
C. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN MORAL
Menurut Kohlberg
1976 (dalam Prayitno, 1991: 132) mengemukakan , perkembangan moral dapat
dibagimenjadi tiga tingkat yaitu tingkat prakonvensional, tingkat konvensional,
dan pasca konvensional.
1.
Tingkat Prakonvensional
Tingkat awal perkembangan moral anak disebut tingkat prakonvensional. Pada
tingkat awal ini nilai baik dan buruk ditentukan oleh orang dewasa, sedangkan
anak belum memiliki nilai-nilai moral dalam dirinya. Pada tahap ini anak tunduk
dan patuh pada tuntutan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik maka
itulah yang diikuti dan dipatuhi anak, begitupun sebaliknya dikatakan tidak
baik dan dilarang akan dihindari anak. Anak melakukan yang baik dan
meninggalkan yang tidak baik dengan harapan mengharapkan pujian atau hadiah
dari orang dewasa dilingkungannya.
Tingkat
ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a.
Tahap orientasi hukum dan kepatuhan
Pada tahap ini nilai baik buruk tindakan
berorientasi pada akibat fisik. Tahap ini individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi
langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu
tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum.
Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai
tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang
dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
b.
Tahap orientasi relativis instrumental
Pada tahap ini ukuran
benar salahnya suatu tindakan adalah bila dapat memenuhi kebutuhan, baik
kebutuhan sendiri maupun kebutuhan orang lain. Tahap ini menempati posisi pada sebuah prilaku yang menguntungkan untuk dirinya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang
paling diminatinya. Penalaran tahap ini kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain,
hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya
sendiri.
Tingkat pra-konvensional dari penalaran
moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan
penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional
menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung.
Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan
moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
2.
Tingkat Konvensional
Pada
tahap ini hal-hal yang dianggap berharga adalah dapat memenuhi harapan
keluarga, kelompok bahkan harapan bangsa. Tujuannya ingin bersikap loyal, sikap
ingin menjaga dan menunjang ketertiban.
Tingkat
ini terdiri dari dua tahap:
a.
Orientasi masuk kelompok anak baik dan
anak manis
Pada
tahap ini ukuran baik dan buruknya suatu tingkah laku berorientasi pada
persetujuan orang lain dilingkungannya. Tahapan seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial.
Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain
karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah
mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, dan rasa terimakasih.
b.
Orientasi hukum dan ketertiban
Tingkah laku yang benar berorientasi pada aturan-aturan yang
sudah pasti. Tahapan mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap ini lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual
seperti dalam tahap sebelumnya; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi.
Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti
dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain
juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan
aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga
celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang
buruk dari yang baik.
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau
orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
3.
Tingkat pascakonvensional
Pada
tingkat pascakovensional ukuran nilai baik dan buruk didasarkan atas
prinsip-prinsip yang sahih dan dapat dilaksanakan. Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai
tingkat berprinsip, yang mana tahapannya adalah:
1. Tahap
pertama, individu-individu
dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan
adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan
yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar.
Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan
sosial harus diubah bila
perlu demi terpenuhinya kebaikan
terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui
keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
2. Tahap
kedua, tahap penalaran moral
berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan
keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai
kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang
absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan
dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang
dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara
tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi,
sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin
bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
Darnis arief dan
khairanis. 2000. Perkembangan dan Belajar
Peserta Didik. Padang: DIP Universitas Negeri Padang.
http://silvrz.blogspot.com/2011/11/peran-orangtuan-mengembangkan-moral.html (diakses 30 Maret 2012)
http://abyfarhan7.blogspot.com/2012/01/karakteristik-perkembangan-moral.html (diakses 30 Maret 2012)
No comments:
Post a Comment