Pendekatan Penerapan Pendidikan Budi Pekerti
Sekolah
sangatlah memberi andil dalam merencanakan pendidikan budi pekerti. Sungguh
terpuji apabila sekolah tersebut membudayakan kegiatan moral dilingkup sekolah
dalam arti segenap yang ada dalam lingkungan sekolah haruslah berwatak yang
baik sehingga tiada kegiatan yang menjelek image sekolah sebagai lembaga
pendidikan. Banyak kegiatan yang mulai melanggar kegiatan budi pekerti contoh
kecil masih adanya guru dijenjang tertentu mencontohkan siswanya suatu
perbuatan yang tidak terpuji misalnya marah kepada murid. Kenapa penulis bilang
marah itu merupakan suatu sifat buruk Karena secara tidak langsung guru
tersebut sudah mengajarkan kepada muridnya bagaimana cara marah. Mungkin
sebagian besar guru mengerti bahwa salah satu sifat seorang anak merupakan suka
meniru-niru orang lebih dewasa. Itu adalah contoh kecil dari perbuatan buruk yang
bisa ditiru oleh anak didik.
Pengaruh
Seorang Guru Dalam Mengajarkan Budi Pekerti ke anak-anak sangat besar karena
gurulah yang mengatur jalannya pendidikan sebuah kelas. Dia yang memplanning
sebuah pendidikan dikelas sesuai dengan kurikulum. Bahkan dia yang mengevaluasi
berhasil tidaknya sebuah kelas.
v Guru
sebagai tauladan
v Guru
sebagai motivator
v Guru
sebagai innovator
v Guru
sebagai evaluator
Salah
satu tujuan penyelenggaraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap moral dan
watak murid yang berbudi luhur. Dahulu para murid diberikan pelajaran Budi
Pekerti untuk mencapai tujuan tersebut. Namun sekarang pelajaran itu telah
ditiadakan karena pelajaran tersebut mungkin tidak banyak merubah kepribadian
murid menjadi kepribadian yang lebih baik dan bermoral. Indonesia memiliki Pancasila
dan nilai-nilai budaya yang luhur dan menjunjung tinggi kerukunan dan tenggang
rasa. Akan tetapi, di pihak lain Indonesia juga merupakan salah satu negara
dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, dan tingkat kerusuhan yang juga
tinggi. Bangsa lain memandang Indonesia menjadi negara yang tidak lagi aman
untuk dikunjungi sehingga Indonesia pernah menjadi negara yang dilarang untuk
dikunjungi oleh salah satu negara besar di dunia. Negara tersebut mengeluarkan
travel warning bagi warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia.
Salah
satu cara membentuk watak dan pribadi bangsa ialah dengan melalui pendidikan.
Jika demikian, bisa dikatakan bahwa ada yang kurang tepat dengan pendidikan
Indonesia sehingga sebagian bangsanya menjadi bangsa yang anarkis dan korup.
Oleh karena itu, seyogyanya pendidikan Budi Pekerti kembali digalakkan. Namun,
agar tujuan dan maksud pendidikan Budi Pekerti itu bisa terwujud sesuai
harapan, maka sangat diperlukan suatu pendekatan ataupun strategi dalam
melaksanakan pendidikan Budi Pekerti. Secara substansial, pendidikan budi
pekerti berorientasi pada pentingnya siswa memiliki sikap dan perilaku positif
terhadap diri dan orang lain. Jadi, pendekatan yang dipilih seyogyanya
merupakan pendekatan dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi siswa
sehingga dimungkinkan guru dapat menerapkan pendekatan secara kolaboratif.
Penerapan pendidikan Budi Pekerti perlu dilakukan secara holistik dan didesain
dalam proses pembelajaran yang menyenangkan. Jadi, seorang calon pendidik harus
memahami benar cara melaksanakan pendidikan Budi Pekerti sehingga sesuai dengan
uraian di atas. Dengan begitu, harapan, maksud dan tujuan dari pendidikan Budi
Pekerti tersebut bisa tercapai.
Beberapa
pendekatan penerapan nilai, yaitunya sebagai berikut:
1) Pendekatan
penanaman nilai (Iculcation Approach)
Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini
sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai
literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang
indoktrinatif (pemberian ajaran secara mendalam tanpa kritik mengenai suatu
paham atau doktrin tertentu dengan melihat suatu kebenaran dari arah tertentu
saja), tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985;
Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih
nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia
berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai
yang sesuai untuk generasi yang akan datang.
Pada dasarnya,
pendekatan ini mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai
sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
melalui tahapan: mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian,
menerapkan nilai sesuai dengan keyakinan diri. Cara yang digunakan antara lain
keteladanan, penguatan, simulasi, dan bermain peran.
Pendekatan ini
sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai
literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang
indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks,
1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk
memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan
manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan
nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi
mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu
diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka
dapat menemukan nilai-nilai mereka
sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Pendekatan penanaman
nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh
Superka, et. al. (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini digunakan
secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman
nilai-nilai
agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi
penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan
merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi
penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan
merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.
2) Pendekatan
Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development Approach)
Pendekatan
ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan
dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan
ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan
moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih
tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal
yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih
kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa
untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam
suatu masalah moral (Superka, et. al.1976; Banks, 1985). Pendekatan
perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971,
1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977;
Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap
(level) sebagai berikut:
a. Tahap
"premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah
laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
b. Tahap
"conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan
sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
c. Tahap
"autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku
sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya
menerima kriteria kelompoknya.
Piaget
berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui
pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap
anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka
patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan
kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi
umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti
dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan
teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut
Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang
menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan
kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal.
Jadi, pada dasarnya, pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Cara yang dapat digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstrak.
Jadi, pada dasarnya, pendekatan ini menekankan pada berbagai tingkatan dari pemikiran moral. Cara yang dapat digunakan dalam penerapan budi pekerti dengan pendekatan ini antara lain melakukan diskusi kelompok dengan topik dilema moral, baik yang faktual maupun yang abstrak.
3) Pendekatan
Analisis Nilai (Value Analysis Approach)
Pendekatan
analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis
masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan
nilai tertentu dan dapat menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai
mereka sendiri.
Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut.
Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi
dan menjelaskan nilai yang terkait yang artinya mengurangi perbedaan penafsiran
tentang nilai yang terkait,
b. Mengumpulkan
fakta yang berhubungan yang artinya mengurangi perbedaan dalam fakta yang
berhubungan,
c. Menguji
kebenaran fakta yang berkaitan yang artinya mengurangi perbedaan kebenaran
tentang fakta yang berkaitan,
d. Menjelaskan
kaitan antara fakta yang bersangkutan yang artinya mengurangi perbedaan tentang
kaitan antara fakta yang bersangkutan,
e. Merumuskan
keputusan moral sementara yang artinya mengurangi perbedaan dalam rumusan
keputusan sementara,
f. Menguji
prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang artinya
mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
Cara
yang dapat digunakan antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi,
penegasan bukti, penegasan prinsip, analisis terhadap kasus, debat, dan
penelitian.
4) Pendekatan
Klarifikasi Nilai (Value Clarification Approach)
Pendekatan
klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha
membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan
ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang.
Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh
seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri,
tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya.
Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting.
Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan
keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Jadi, pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, bertujuan membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang digunakan antara lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok.
Jadi, pendekatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri dan nilai-nilai orang lain. Selain itu, bertujuan membantu peserta didik untuk mampu mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka tentang nilai-nilai mereka sendiri kepada orang lain dan membantu peserta didik dalam menggunakan kemampuan berpikir rasional dan emosional dalam menilai perasaan, nilai, dan tingkah laku mereka sendiri. Cara yang digunakan antara lain bermain peran, simulasi, analisis mendalam tentang nilai sendiri, aktivitas yang mengembangkan sensitivitas, kegiatan di luar kelas, dan diskusi kelompok.
5) Pendekatan
Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach)
Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral,
baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976),
pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan
perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam
melakukan perubahan-perubahan sosial. Tujuan pendekatan ini adalah untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik seperti pada pendekatan analisis dan
klarifikasi nilai, dan mengembangkan kemampuan dalam melakukan kegiatan sosial
serta mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk
sosial. Cara yang digunakan selain cara-cara pendekatan analisis dan
klarifikasi nilai, adalah metode proyek/kegiatan di sekolah, hubungan antar
pribadi, praktik hidup bermasyarakat dan berorganisasi.
Daftar Pustaka
Nurul
Zuriah. 2007 . Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan .
Jakarta : Bumi Aksara
http://dedimahgunaguna.blogspot.com/2012/01/pendekatan-pendekatan-pendidikan-budi.html ( diakses 19 Maret 2012)
No comments:
Post a Comment