Cara Mengatasi Anak Dengan Gangguan Penglihatan (Tunanetra)
Agar Berhasil dalam Pendidikan Inklusi
- Defenisi Ketunanetraan
Kebanyakan definisi ketunanetraan
didasarkan pada akibat ketunanetraan
itu sendiri pada penyandangnya. Ada
dua defenisi ketunanetraan, yaitu defenisi medis dan defenisi Pendidikan.
1)
Definisi
Medis
Definisi
medis ini didasarkan pada ketajaman penglihatan dan lantang pandangan. Seseorang
yang memiliki ketajaman penglihatan
(visus) 20/200 atau kurang
tergolong buta. Sedangkanyang memiliki visus antara 20/70 tergolong low vision.
Meskipunseseorang memiliki ketajaman penglihatan normal tetapi
lantangpandangannya kurang dari 20 derajat juga tergolong buta. Karena difinisi medis
ini semata-mata didasarkan pada
ketajaman
penglihatan sering ditemukan seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan
sama tetapi kemampuan penggunaan
penglihatannya
berbeda. Di samping itu berdasarkan data statistik bahwa seseorang yang digolongkan buta
keadaan penglihatannya sangat
beragam .
2) Definisi Pendidikan
Penggolongan
ketunanetraan berdasarkan media apa yang digunakan untuk membaca dan menulis
merupakan dasar dari definisi
pendidikan. Seseorang yang belajar dengan menggunakan indera perabaan dan
pendengaran digolongkan sebagai buta. Sedangkan seseorang yang masih mampu
menggunakan penglihatannya
untuk membaca meskipun dengan tulisan yang diperbesar (diadaptasi)
mereka digolongkan sebagai low vision. Seseorang yang masih mampu menggunakan
penglihatannya tetapi mengalami
gangguan pada situasi tertentu tergolong sebagai limited vision.
- Penyebab Ketunanetraan
Secara ilmiah ketunanetraan anak
dapat disebabkan oleh berbagai factor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) ataupun factor dari luar anak (eksternal).
Hal-hal yang termasuk faktor internal
yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam
kandungan : faktor gen (sifat pembawa keturunan),
kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat dan sebagainnya.
Faktor eksternal yaitu faktor-faktor
yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya : kecelakaan,
terkena penyakit siphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat
bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system sayafnya rusak, kurang gizi
atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi,
dan peradangan mata karena penyakit, bakteri, atau virus.
- Dampak Ketunanetraan
Penglihatan merupakan salah satu saluran
informasi yang sangat penting
bagi manusia selain pendengaran, pengecap, pembau, dan perabaan. Pengalaman
manusia kira-kira 80 persen dibentuk berdasarkan informasi dari
penglihatan. Di bandingkan dengan indera yang lain indera penglihatan mempunyai
jangkauan yang lebih luas. Pada saat seseorang melihat sebuah mobil
maka ada banyak informasi yang sekaligus diperoleh seperti misalnya warna mobil,
ukuran mobil, bentuk mobel, dan lain-lain termasuk
detail bagian-bagiannya. Informasi semacam itu tidak mudah diperoleh dengan
indera selain penglihatan.
Kehilangan
indera penglihatan berarti kehilangan saluran informasi visual. Sebagai
akibatnya menyandang
kelainan penglihatan akan
kekuarangan
atau kehilangan informasi yang bersifat visual. Seseorang yang kehilangan atau
mengalami kelainan penglihatan, sebagai kompensasi, harus berupaya untuk
meningkatkan indera lain yang masih
berfungsi. Seberapa jauh dampak
kehilangan atau kelainan penglihatan terhadap kemampuan seseorang tergantung pada banyak
faktor misalnya kapan (sebelum
atau sesudah lahir, masa balita atau sesudah lima tahun) terjadinya
kelainan, berat ringannya kelainan, jenis kelainan dan lain-lain. Seseorang yang
kehilangan penglihatan sebelum lahir sering sampai usia lima tahun pengalaman
visualnya sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan
yang kehilangan penglihatan setelah usia lima tahun atau lebih dewasa
biasanya masih memiliki pengalaman visual yang lebih baik tetapi
memiliki dampak yang lebih buruk terhadap penerimaan diri.
1) Dampak terhadap Kognisi
Kognisi
adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya
secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada
bagaimana orang dan obyek tersebut
tampak
dalam dunia kognitifnya ,dan citra atau “peta” dunia setiap orang itu bersifat
individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut
merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan fisik dan
sosisalnya, struktur fisiologisnya,
keinginan dan tujuannya, dan pengalaman-pengalaman masa lalunya. Dari keempat faktor
yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang kelainan
dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi
indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi
lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman
visual, sehingga konsepsi orang awas mereka tentang dunia ini
sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.
2)
Dampak terhadap Keterampilaan Sosial
Orang
tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial anak. Perlakuan
orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh
sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan satu komponen
dari sikap di samping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan
kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak
selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya
akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya.
Mereka mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin
akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara,
dan dalam kasus yang ekstrem bahkan dapat mengakibatkan perceraian. Persoalan
seperti ini terjadi pada banyak
keluarga
yang mempunyai anak cacat.
Pada
umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat kehilangan anaknya yang
“normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan, tahap penyesalan, dan
akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua tertentu penerimaan
itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses “dukacita” ini
merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak penyandang semua
jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap
hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan
anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi
perkembangan emosi dan sosial anak.
3) Dampak terhadap Bahasa
Pada
umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan
secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa
anak tunanetra. Mereka mengacu
pada
banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari
siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga
mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan
awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan
bahasa. Karena persepsi auditif lebih berperan daripada persepsi
visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila
berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat
dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih
termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan
saluran utama komunikasinya dengan orang lain. Secara konseptual sama
bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kakat-kata dipelajarinya
melalui konteksnya dan penggunaannya
di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar
kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan
pengalaman nyata dan tak ada makna baginya. Kalaupun anak tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata
akibat langsung dari ketunanetraannya
melainkan terkait
dengan cara orang lain memperlakukannya.
Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman
kaidah-kaidah bahasa.
4)
Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Mungkin
kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk berhasil dalam
penyesuaian social individu tunanetra adalah kemampuan mobilitas
yaitu keterampilan
untuk bergerak secara leluasa di
dalam
lingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi,
yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek
lainnya di dalam lingkungan. Untuk
membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tuna netra
di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara barat penggunaan
anjing penuntun (guide dog)
juga populer. Dan penggunaan
alat elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra
masih terus dikembangkan.
Agar
anak tuna netra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam
lingkungannya dala bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan
orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut
harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik,
koordinasi motor, postur, keleluasaan gerak, dan latihan untuk mengembangkan
fungsi indera –indera yang masih berfungsi.
- Perkembangan Kognitif, Motorik, emosi, sosial Tunanetra
(a) Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra
Akibat dari ketunanertaan, maka
pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh
secara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanerta
cendrung terhambat dibandingkan dengan anak-anak normal pada umumnya. Hal ini
disebabkan perkembangan kognitf tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan
(IQ), tetapi juga dengan kemampuan indra penglihatannya. Melalui indera
penglihatan seseorang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar, tidak
saja pada bentuknya (pada objek berdimensi dua) tetapi juga pengamatan dalam
(pada objek berdimensi tiga), warna, dan dinamikanya. Melalui indra inilah sebagian
besar rangsang atau informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke
otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan pengertian tertentu terhadap
rangsang tersebut. Melalui kegiatan-kegiatan yang bertahap dan terus menerus
seperti inilah yang pada akhirnya mampu merangsang pertumbuhan dan perkembangan
kognitif seseorang sehingga mampu berkembang secara optimal.
(b) Perkembangan Motorik Anak Tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra
cendrung lambat dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Keterlambatan ini
terjadi karna dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi
fungsional antara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsi
psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan.
Pada anak tunanerta mungkin fungsi neuromuscular system tidak bermasalah tetapi
fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan tersendiri dalam
perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak mampu mencapai kematangan
sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi karna fungsi psikisnya (seperti
pemahaman terhadap realitas lingkungan, kemungkinan mengetahui adanya bahaya
dan cara menghadapi, keterampilan gerak yang serba terbatas, serta kurangnya
keberanian dalam melakukan sesuatu) mengakibatkan kematangan fisiknya kurang
dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan
dalam fungsi psikis ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal
dari ketidakmampuannya dalam melihat.
(c) Perkembangan Emosi Anak Tunanetra
Perkembangan emosi anak tunanetra
akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas.
Keterhambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak
tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra
mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya,
namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak
dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat.
Akibatnya pola emosi yang ditampilkannya mungkin berbeda atau tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya. Perkembangan emosi
anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi
emosi , yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan
untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang,
kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Anak tunanetra yang cenderung mengalami
deprivasi emosi ini terutama adalah anak-anak yang pada masa awal kehidupan
atau perkembangannya ditolah kehadirannya oleh linkungan keluarga atau
masyarakat. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek
perkembangan lain seperti kelambatan
dalam perkembangan fisik, motorik, bicara, intelektual dan social. Selain itu,
anak yang mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan
diri sendiri,serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.
(d)
Perkembangan
Sosial Anak Tunanetra
Perkembangan sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan untuk bertingkah laku sesuai
dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat
kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Anak tunanetra lebih banyak
menghadapi masalah dalam perkembangan social. Hambatan-hambatan tersebut adalah
kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau
baru, perasaan rendah diri, malu, keterbatasan anak untuk dapat belajar social
melalui proses identifikasi dan imitasi, serta sikap-sikap masyarakat yang sering
kali tidak menguntungkan : penolakan, penghinaan dan sikap tak acuh. Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan social anak tunanetra
itu sangat bergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan
terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Bila
perlakuan dan penerimaannya baik, maka perkembangan sosial anak tunanetra tersebut akan baik dan begitu juga sebaliknya.
- Prinsip Pengajaran
Dalam mengajar anak dengan kelainan
penglihatan ada beberapa
hal
yang perlu mendapat perhatian secara khusus yaitu :
1) Lingkungan Fisik
Dahulu anak tunanetra kebanyakan belajar
di sekolah khusus (SLB)
namun sekarang
mulai banyak tunanetra belajar di sekolah-sekolah reguler bersama-sama
dengan temannya yang awas (normal). Keadaan semacam ini penyediaan
atau penyiapan lingkungan fisik bagi mereka perlu mendapat
perhatian di sekolah reguler. Lingkungan fisik yang dimaksud dapat berupa
kondisi pencahayaan (bagi yang low vision), jalan dan gedung yang mudah
diakses tunanetra, serta perlengkapan lain yang mendukung keberhasilan
belajar para tunanetra.
2) Prosedur Pengajaran
Metode
pengajaran kepada tunanetra sebaiknya mencakup tiga prinsip yang meliputi:
pengalaman kongkret, pengalaman yang utuh, dan belajar dengan
melakukan. Akibat
ketunanetraan banyak hal yang tidak dapat diterima secara kongkret seperti
misalnya benda atau obyek yang terlalu besar atau tidak dapat diraba misalnya
bulan, mata hari, gunung dan lain-lain. Oleh karena itu pengajaran pada
tunanetra harus berupaya memberikan pengalaman yang kongkret sehingga
dapat mengurangi terjadinya verbalisme (pengetahuan tanpa pengalaman nyata). Karena keterbatasan
jangkauan indera perabaan sering kali menyebabkan pengenalan terhadap suatu
obyek tidak utuh (bagianbagian).
Oleh
karena itu pemahaman secara utuh tentang suatu obyek menjadi prioritas dalam
pengajaran pada tunanetra.
Prinsip
learning by doing dalam
pengajaran dimaksudkan untuk
mengatasi
kekurangan pengalaman langsung tunanetra terhadap suatu obyek atau peristiwa.
Hal ini sering tertjadi karena akibat over
protection sehingga tunanetra kehilangan kesempatan
untuk memperoleh pengetahuan
atau pemahaman melalui kegiatan
langsung.
3) Isi dan Materi Pengajaran
Pada dasarnya isi dan materi pengajaran
pada tunanetra tidak berbeda
dengan materi pada anak awas. Meskipun demikian ada beberapa materi khusus yang
mereka perlukan sesuai dengan kebutuhannya. Materi pengajaran yang khusus
diperlukan oleh tunanetra adalah membaca dan menulis braille,
keterampilan orientasi dan mobilitas, keterampilan penggunaan indera
selain penglihatan, aktivitas fisik dan lain-lain.
Berdasarkan
kondisi anak dengan gangguan penglihatan pada umumnya tidak terlalu mengalami
kesulitan untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Demikian juga dalam
seting pendidikan inklusi. Namun perlu dipertimbangkan bahwa anak yang akan
diberi layanan dalam setting pendidikan inklusi di sekolah reguler. Terlebih
dahulu sudah mempunyai kemampuan dan keterampilan Braille dan orientasi
mobilitas. Dalam hal ini sumber (sekolah khusus) harus difungsikan sebagai
tempat latihan keterampilan braille dan orientasi mobilitas. Oleh karena itu,
apabila anak yang mengalami gangguan penglihatan yang masih belum memiliki
keterampilan tersebut, dalam mengalami pendidikan akan mengalami kendala.
Kendala tersebut akan dialami baik oleh guru kelas maupun anak itu sendiri
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah reguler.
Daftar
Pustaka
Tarmansyah. 2009. Perspektif Pendidikan Inklusif. Padang:
UNP PRESS.
Tarmansyah. 2009. Pendidikan Inklusi. Padang: UNP PRESS.
Sutjihati, Somantri, 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
http://www.google.com/
No comments:
Post a Comment