Kajian tentang
Hakikat Manusia
a.
Pandangan Ilmu Pengetahuan tentang
Manusia
Kemampuan manusia untuk menggunakan
akal dalam memahami lingkungannya merupakan potensi dasar yang memungkinkan
manusia berfikir. Dengan berfikir manusia menjadi mampu melakukan perubahan
dalam dirinya, dan memang sebagian besar perubahan dalam diri manusia merupakan
akibat dari aktivitas berfikir. Ini berarti bahwa tanpa berfikir, kemanusiaan
manusia pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.
Berfikir juga memberi kemungkinan
manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan selanjutnya. Pengetahuan
itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang lebih mendalam.
Semua ini dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu,
dengan tahu dia berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. Semua ini
pendasarannya adalah penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir
manusia mampu mengolah pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran
manusia menjadi makin mendalam dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia
mengajarkan, dengan berpikir manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan
serta mengaplikasikannya. Manusia mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke
arah kehidupan yang lebih baik, semua itu telah membawa kemajuan yang besar
dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Dengan demikian kemampuan untuk
berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan makna pokok yang
terkandung dalam kegiatan berfikir dan berpengetahuan.
Para ahli telah banyak mengkaji
perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya terutama dengan makhluk
yang agak dekat dengan manusia yaitu hewan. Secara biologis pada dasarnya
manusia tidak banyak berbeda dengan hewan, bahkan Ernst Haeckel (1834 – 1919)
mengemukakan bahwa manusia dalam segala hal sungguh-sungguh adalah binatang
beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui, demimikian juga Lamettrie
(1709 – 1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara binatang dan
manusia dan karenanya bahwa manusia itu adalah suatu mesin.
Jadi, nampak bahwa ada sudut pandang
yang cenderung merendahkan manusia, dan ada yang mengagungkannya, semua sudut
pandang tersebut memang diperlukan untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia.
Blaise Pascal (1623 – 1662) menyatakan bahwa adalah berbahaya bila kita
menunjukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang dengan
tidak menunjukan kebesaran manusia sebagai manusia. Sebaliknya adalah bahaya
untuk menunjukan manusia sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukan
kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak menunjukan sudut kebesaran
dan kelemahannya sama sekali.
Pendapat para ahli tentang manusia
yaitu:
a) Plato (427 – 348). Dalam pandangan
Plato manusia dilihat secara dualistik yaitu unsur jasad dan unsur jiwa, jasad
akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa mempunyai tiga fungsi (kekuatan) yaitu
logystikon (berfikir/rasional, thymoeides (Keberanian), dan epithymetikon
(Keinginan)
b) Aristoteles (384 – 322 SM). Manusia
itu adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang
berbicara berdasarkan akal fikirannya. Manusia itu adalah hewan yang berpolitik
(Zoon Politicon/Political Animal), hewan yang membangun masyarakat di atas
famili-famili menjadi pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.
c) Ibnu Khaldun (1332 – 1406). Manusia
adalah hewan dengan kesanggupan berpikir, kesanggupan ini merupakan sumber dari
kesempurnaan dan puncak dari segala kemuliaan dan ketinggian di atas
makhluk-makhluk lain.
d) Ibnu
Sina (980 -1037 M). manusia adalah makhluk yang mempunyai kesanggupan : 1)
makan, 2) tumbuh, 3) ber-kembang biak, 4) pengamatan hal-hal yang istimewa, 5)
pergerakan di bawah kekuasaan, 6) ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang
umum, dan 7) kehendak bebas. Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan
1, 2, dan 3, serta hewan mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5.
e) Ibnu
Miskawaih. Menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai
kekuatan-kekuatan yaitu : 1) Al Quwwatul Aqliyah (kekuatan berfikir/akal), 2)
Al Quwwatul Godhbiyyah (Marah, 3) Al Quwwatu Syahwiyah (sahwat).
Jadi, manusia itu yaitu :
1)
Secara fisikal, manusia sejenis hewan juga
2)
Manusia punya kemampuan untuk bertanya
3)
Manusia punya kemampuan untuk berpengetahuan
4)
Manusia punya kemauan bebas
5)
Manusia bisa berprilaku sesuai norma (bermoral)
6)
Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya
7)
Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam
totalitas dengan sadar diri
8)
Manusia adalah makhluk yang punya kemampuan untuk
percaya pada Tuhan
Dengan demikian nampaknya terdapat
perbedaan sekaligus persamaan antara manusia dengan makhluk lain khususnya
hewan, secara fisikal/biologis perbedaan manusia dengan hewan lebih bersifat
gradual dan tidak prinsipil, sedangkan dalam aspek kemampuan berfikir,
bermasyarakat dan berbudaya, serta bertuhan perbedaannya sangat asasi/prinsipil,
ini berarti jika manusia dalam kehidupannya hanya bergerak dalam urusan-urusan
fisik biologis seperti makan, minum, beristirahat, maka kedudukannya tidaklah
jauh berbeda dengan hewan, satu-satunya yang bisa mengangkat manusia lebih
tinggi adalah penggunaan akal untuk berfikir dan berpengetahuan serta
mengaplikasikan pengetahuannya bagi kepentingan kehidupan sehingga
berkembanglah masyarakat beradab dan berbudaya, disamping itu kemampuan
tersebut telah mendorong manusia untuk berfikir tentang sesuatu yang melebihi
pengalamannya seperti keyakinan pada Tuhan yang merupakan inti dari seluruh
ajaran Agama. Oleh karena itu carilah ilmu dan berfikirlah terus agar posisi
kita sebagai manusia menjadi semakin jauh dari posisi hewan dalam konstelasi
kehidupan di alam ini.
b.
Masalah Jasmani dan Rohani
Ilmu yang mempelajari tentang hakekat mansia disebut Antropologi Filsafat. Hakikat berarti
adanya berbicara menganai apa manusia itu, ada empat aliran yang dikemukakan
yaitu:
1)
Aliran Serba Zat
Aliran
serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada, itu hanyalah zat materi,
alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari
itu manusia adalah zat atau materi.
2)
Aliran Serba Ruh
Aliran
ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada didunia ini ialah ruh,
juga hakekat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah manifestasi dari pada
ruh di atas dunia ini. Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh itu lebih
berharga, lebih tinggi nilainya daripada meteri. Hal ini mereka buktikan dalam
kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita mencintai seseorang jika ruhnya
pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya. Dengan
demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah
penjelmaan atau bayangan.
3)
Aliran Dualisme
Aliran
ini menggangap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua subtansi,
yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-masing merupakan unsur
asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi badan tidak bersal dari
ruh dan tidak bersal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad
dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang mana keduanya saling
mempengaruhi.
4)
Aliran Eksistensialisme
Aliran
filsafat modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan eksistensi atau
perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu, yaitu
apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini manusia dipandang tidak
dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme dari dua aliran itu, tetapi
memandangnya dari segi eksistensi itu sendiri didunia ini.
Terlalu banyak sebutan dan istilah yang diberikan untuk
makhluk-makhluk berakal pikiran ciptaan Tuhan, seperti homo sapiens , homo
rasional ,animal social, al-insan dan lain sebagainya. Bentuk sebutan itu mencerminkana
keragaman sifat dan sikap manusia. Hal itu dapat terjadi karena didalam diri manusia itu
sendiri terdapat enam rasa yang menjadi satu, yaitu rasa intelek , rasa
agma,rasa susilah, rasa sosial, rasa seni dan rasa harga diri.
Maka tidak heran kalau sejak dulu manusia tiada
henti-hentinya berusaha membedakan antara unsur manusia yang bersifat lahiriah
dan maknawiah. Kebanyakan ahli filsafat yunani bependapat bahwa ruh itu
merupakan satu unsur yang harus, yang dapat meninggalkan badan. Jika dia pergi
dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi, meluncur keangkasa luar dan
tidak mati, sebagai mana ungkapan phytagoras kepada diasgenes.
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan perakitan
antara badan dan ruh. Islam
mengatakan dengan tegas bahwa kedua substansi ini adalah substansi alam. Islam
memandang permasalahan roh/ruh merupakan suatu hal yang terbatas untuk
dipelajari secara mendalam. Hal
itu menjadi landasan bukti walaupun banyak ilmu yang telah dimiliki oleh
manusia, namun sampai kapan pun ia tidak akan melebihi Tuhannya, dalam kaitan
masalah ruh.
Itulah yang membedakan hasil yang telah dicapai islam
dari segi sistem kerohaniannya yang tampak pada manusia adalah sosok tubuhnya,
dalam hal efektifitas dirinya bersumber pada jiwa dan ruh. Karena itu hidup
seorang muslim haruslah diarahkan atas kerjasama yang sempurna antara
kepentingan dan kebutuhan jasmani-rohani.
c.
Pandangan Antropologi Metafisik
Secara
garis besar antropologi metafisik bertujuan menyelidiki, menginterpretasi dan memahami
gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia sebagaimana halnya dengan
ilmu-ilmu tentang manusia. Adapun secara spesifik bermaksud memahami hakikat
atau esensi manusia dengan mencari dan menemukan jawaban sesungguhnya tentang
manusia.
Menurut
Cristian Wolf (1679-1754), metafisika terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
(1)
Metafisika
Generalis, yakni ilmu yang membahas mengenai yang ada atau pengada atau yang
lebih dikenal sebagai ontologi,
(2)
Metafisika
spesialis yang terbagi menjadi tiga bagian besar,
a. antropologi, yang menelaah mengenai hakikat
manusia, tentang diri dan kedirian, tentang hubungan jiwa dan raga,
b. kosmologi, yang membahas asal-usul alam
semesta dan hakikat sebenarnya, dan
c.
teologi,
membahas mengenai Tuhan secara rasional.
Sementara
itu Driyarkara menyamakan metafisika dengan ontologi, ia menyatakan bahwa
filsafat tentang ada dan sebab-sebab pertama adalah metafisika atau ontologi,
yang di samping membahas tentang ada dan sebab-sebab pertama tersebut, juga
membahas mengenai apakah kesempurnaan itu, apakah tujuan, apakah sebab-akibat,
apa yang merupakan dasar yang terdalam dalam setiap barang yang ada
(hylemorfism), intinya adalah, apakah hakikat dari segala sesuatu itu.
Metafisika
ternyata mendapat penentangan dari beberapa ilmuwan, antara lain adalah yang
menganut paham positivisme logis dengan menyatakan bahwa metafisika tidak
bermakna. Misal, Katsoff menyatakan bahwa agaknya Ayer berupaya untuk
menunjukkan bahwa natutalisme, materialisme, dan lainnya merupakan pandangan
yang sesat. Ayer menunjang argumentasinya dengan membuat criterion of
verifiability atau keadaan dapat diverifikasi. Penentang lain Ludwig
Wittgenstein menyatakan bahwa metafisika bersifat the Mystically, hal-hal yang
tak dapat diungkapkan (inexpressible) ke dalam bahasa yang bersifat logis dan
sebaiknya didiamkan saja.
Namun
pada kenyataannya banyak ilmuawan besar, terutama Albert Einstein, yang
merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari
penemuan ilmiahnya. Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan oleh
Thomas Kuhn terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, yakni ketika
kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar,
antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal,
dan metafisika. Misalnya adalah, upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak
dapat dipecahkan oleh paradigma keilmuan yang lama dan selama ini dianggap
mampu memecahkan masalah membutuhkan paradigma baru, pemecahan masalah baru,
hal ini hanya dapat dipenuhi dari hasil permenungan metafisik yang dalam banyak
hal memang bersifat spekulatif dan intutitif, hingga dengan kedalaman
kontemplasi serta imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan
(peluang-peluang) konsepsi teoritis, asumsi, postulat, tesis, dan paradigma
baru untuk memecahkan masalah yang ada.
Thank Flo., materi'a pas banget.. ^^
ReplyDeleteby : Ikem